Mahasiswa STIPAS Keuskupan Agung Kupang ( Semester V )
Pendidikan merupakan salah satu cara yang dipilih dan ditempuh manusia dalam rangka memanusiakan manusia. (Pakaenoni, 2021). Dalam merealisasikan pengertian pendidikan, yang juga merupakan tujuan pendidikan itu sendiri, dibutuhkan sebuah cara konkrit yang dipilih. Dalam menyikapi hal tersebut, pada tahun 2017, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Pasal 4 butir C bahwa tujuan penyelenggaraan Sistem Perbukuan adalah untuk menumbuhkembangkan budaya literasi seluruh Warga Negara Indonesia. Sebelumnya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti melalui kebiasaan membaca selama 15 menit sebelum jam pembelajaran.
Kebijakan di atas tentunya juga menjadi suatu upaya luhur pemerintah dalam menigkatkan kualitas pendidikan bangsa. Pemerintah berupaya sebisa mungkin agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang madani dan berintelek. Kenyataan bangsa yang madani dan berintelek tersebut tidak terlepas dari kualitas IQ bangsa. Dilansir dari data World Population Review 2022, nilai rata-rata IQ penduduk di Indonesia adalah 78,49. Skor itu menempatkan Indonesia di posisi ke-130 dari total 199 negara yang diuji. (Kompas, edisi 1/10/22).
Realitas IQ bangsa di atas, sejatinya hendak menunjukkan kepada bangsa akan kualitas sistem pendidikan yang ada. Kebijakan literasi yang telah dibuat dirasa masih belum cukup. Minimnya minat literasi bangsa ini, sejatinya tidak serta merta menjadi kesalahan pemerintah. Sejauh berjalannya kebijakan terhadap pendidikan, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang yang telah disebutkan di atas. Kebijakan yang telah dibuat tersebut tentulah menjadi kebijakan yang bijaksana dan bersifat ‘hitam atas putih’. Kebijakan literasi tersebut juga menjadi de jure atas realitas literasi. Lantas seperti apa de facto kebijakan literasi tersebut? Mengacu pada hasil survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tingkat literasi masyarakat Indonesia tergolong sangat rendah. Hasil survei tahun 2019 minat baca masyarakat Indonedia menempati ranking ke 62 dari 70 negara, atau berada 10 negara terbawah. (Portal Bandung Timur, edisi 17/05/2021).
Menurut hemat penulis, hasil survey di atas hendak menunjukkan kepada kita seperti apa realitas implementasi literasi secara umum dalam bangsa ini. Secara khusus, tidak dapat dinafikan, bahwa minimnya literasi diakibatkan oleh tidak terdapatnya sikap tegas dari pemerintah dan lembaga pendidikan untuk menerapkan secara serius kebijakan literasi yang telah dibuat. Di lain sisi, perkembangan teknologi yang salah diartikan oleh peserta didik, dimana teknologi diakses tidak untuk kepentingan literasi dan menambah wawasan, tetapi malah sebaliknya yaitu, mengakses media-media yang sejatinya tidak memberikan edukasi. Minat peserta didik yang hanya mengakses media-media non-edukasi tersebut disebabkan oleh kebiasaan masyarakat media sosial dalam mengviralkan sesuatu atau hal yang terjadi. Peserta didik lebih tertarik menikmati euforia viral ketimbang memberikan wawasan pengetahuan sebagai asupan peningkatan IQ diri sendiri. Benar bahwa masih terdapat peserta didik yang menggunakan media sosial (media digital) sebagai wadah berliterasi. (baca : Siaran Pers Kominfo; tertanggal : 20/11/2020). Namun demikian, masih patut dipertanyakan bahwa apakah sesungguhnya peserta didik menggunakan media sosial (media digital) sebagai wadah berliterasi?
Akhir kata, literasi merupakan dasar pijakan menuju kualitas pendidikan yang berkualitas. Kebiasaan literasi seharusnya telah menjadi ‘hakekat’ bagi peserta didik. Sebagai upaya, literasi mesti diterapkan secara ketat demi kebaikan bangsa. Literasi mesti digaungkan secara tegas oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab seperti pemerintah dan lembaga pendidikan. Pada konteks yang lebih khusus, literasi sejatinya adalah ‘pembuluh darah’ bagi dunia pendidikan formal. Perpustakaan yang dibangun semestinya dijadikan sebagai ‘gudang ilmu’ bukan ‘gudang buku’. Melalui pendidikan formal, citra bangsa ber-IQ dan berintelek terpancar. Hal ini dapat dicapai hanyalah melalui literasi. Literasi selalu menjadi pengandaian yang paling fundamental dalam meningkatkan kualitas pendidikan secara khusus dan kualitas kehidupan secara umum.
“Menolak literasi, menerima kebodohan”
Editor by : Revan Uky